25 Agustus 2015


Jakarta,

Tempat di mana saya harus hampir menahan sesak di dada.
Tempat di mana saya merasa benar-benar ditempa.
Tempat yang membuat saya harus mengucapkan kata terima kasih.

Karena tanpa Jakarta kala itu, mungkin kesempatan yang lain, yang sekarang saya dapatkan, tak akan bisa saya lewati dengan senyuman seperti sekarang.

- Sedang sangat bersyukur, Yogyakarta.

20 Agustus 2015


Bicara soal cita-cita. Saya iri melihat banyak orang diluar sana yang sudah tau sedari awal ingin jadi apa mereka nanti. Rasanya mereka tak ada waktu untuk berpikir takut ini dan itu. Mulai dari karir, hobi, kesukaan, ambisi yang mereka kejar, menuntun mereka menjadi seseorang yang mereka inginkan. Saya? Hmm. Sepertinya masih berjalan tertatih. Masih mencari jalan untuk menemukan dan hingga akhirnya nanti bisa menentukan.

Pagi ini, saat jari jemari tangan berlari kecil di feed Instagram, saya menemukan sebuah foto dengan kalimat yang serupa seperti di atas. Seketika, pikiran ini mulai menuntun saya untuk : Ya, saya ingin menjadi orang yang seperti itu. Apapun pekerjaan saya, bagaimanapun lingkungan sekitar saya, saya ingin menjadi orang seperti itu. Pikiran itu, menuntun saya untuk : Lakukan yang terbaik dan terus lakukan yang terbaik. Karena hasil akhir itu hanyalah dampak dari sebuah proses kan? 

  Berproseslah,  
  dengan sebaik yang kamu inginkan.  

18 Agustus 2015

Rencana saya buat happy-happy bareng anak-anak akhirnya berhasil terwujud juga. Kalo biasanya kami sukanya bahas doang nggak ada implementasi (soal jalan-jalan), kali ini beneran kejadian! Yeaargh!

rumah kamera camera house borobudur

Mencari lokasi Rumah Kamera nggak terlalu sulit. Tinggal jalan ke arah Hotel Manohara, begitu sampai di sana, tinggal luruuuus aja ngikutin jalan. Kurang lebih sekitar 2 kilometer dari Hotel Manohara, di sebelah kiri sudah langsung bisa kita temukan bangunan rumah berbentuk kamera DSLR, yap, itulah Rumah Kamera!


Kalau kalian perhatikan nanti di petunjuk jalan menuju Rumah Kamera, keterangannya adalah "Tinggal 1 menit menuju Rumah Kamera", waktu baca petunjuknya, kami cuman geleng-geleng kepala sambil cengengesan, gimanaa itu maksudnya 1 menit, kalo jalan kaki apa iyaa bener 1 menit .

rumah kamera camera house borobudur

Di perjalanan menuju Rumah Kamera, ada pohon gede banget yang cantik buat foto-foto. Bunga pohonnya warnanya merah orange. Bentuknya cukup gendut, hampir sekepalan tangan wanita. Entah nama pohonnya apa. Letak pohon cantik itu berdekatan sama lapangan sepak bola yang punya view bukit yang cantik juga.

rumah kamera camera house borobudur

Liat view yang cantik banget kayak gitu, mana bisa kami tahan buat nggak ngeluarin DSLR punya Momon. Haha. Kali ini beneran deh kami niat buat jalan-jalan, sampe dibela-belain ngingetin Momon buat nge-charge battery kameranya *fungsi teman ya begitu*. Agree?

rumah kamera camera house borobudur
rumah kamera camera house borobudur

Kalau sudah sampai lapangan sepak bola tadi, tandanya posisi Rumah Kamera sudah nggak jauh lagi. Yeay! 

rumah kamera camera house borobudur
Rumah Kamera tampak depan. Ternyata tempat ini adalah galeri seni milik Bapak Tanggol Angien Jatikusumo
Untuk bisa masuk ke dalam rumah ini, kami harus beli tiket masuk senilai 5000 rupiah *kalo nggak salah ingat*. Rumah ini terdiri dari beberapa lantai. Yang paling menarik menurut saya ada di lantai dasar dan lantai paling atas.

Di lantai dasar, kami disuguhkan beberapa lukisan karya Pak Tanggol. Di lantai paling atas, kita bisa melihat pemandangan bukit dan langit yang membentang biru.

rumah kamera camera house borobudur
rumah kamera camera house borobudur

Oiya, yang unik dari Rumah Kamera ini adalah, beberapa bagian lantai dan dinding-dindingnya hanya menggunakan bahan semen yang kemudian dicap bermacam-macam bentuk wayang. Nyeni banget!

rumah kamera camera house borobudur
rumah kamera camera house borobudur
rumah kamera camera house borobudur

Nah, foto-foto syantik sudah, ketawa-ketiwi syudah, menggila juga sudah, alhasil kami kehausan dan kelaparan. Untungnya di bagian luar dekat loket tiket, sudah disediakan kafe kecil buat pengunjung. Harga minuman dan french fries-nya sih standar. Cukup untuk sekedar pelepas dahaga.

rumah kamera camera house borobudur

Kesimpulannya, kami happy banget akhirnya bisa keturutan buat foto-foto di Rumah Kamera ini. Tadinya sih, awalnya kami kira ini cuman sekedar rumah yang nggak dipake gitu. Bahahahaha. Ternyata kenyataannya jauh dari ekspetasi. Ternyata rumah ini memang dibangun untuk galeri seni.

Semoga di pelancongan kami selanjutnya bisa kesampean ke Gereja Ayam. Aaaah, nggak sabar buat long weekend lagi dan halan-halan!





Beberapa foto di atas,
captured by Monica Agustami



17 Agustus 2015

Alhamdulillah, perjalanan dinas kali ini diberi kesempatan (lagi) untuk menginjak tanah Sumatera. Tepatnya, Padang, Sumatera Barat.


Dimulailah perjalanan kami dari Jogja dengan hati riang gembira tralalala. Ini PD luar Jawa pertama buat rekan saya, dan PD pertama juga ke Padang, buat saya.

Menginjakkan kaki di kota Padang, mata saya langsung berbinar saat melihat atap rumah minangkabau. Gagah, garang, dan istimewa.

Hari pertama selesai bertugas, kami diajak berkeliling kota Padang, mencicipi es durian yang legit di Iko Nantinya, melewati pesisir laut, dan tentunya, nyebrang diatas Jembatan Siti Nurbaya.

Untuk beberapa orang, ada kejadian menggelikan di sini, jadi rasanya tempat ini perlu saya abadikan :))))
Es durian Iko Gantinyo

Sudah jauh-jauh sampai Padang, rasanya rugi kalau nggak sekalian mampir ke kampus kebanggaan masyarakat Padang, Universitas Andalas. Bangunan kampus ini ruar biasa banget! Arsitekturnya gagah, mungkin karena luasnya kawasan kampus dan kebetulan berada di atas dataran tinggi. Gedung di Universitas Andalas hampir semua sengaja nggak dicat berwarna. Bagian luarnya cuman disemen gitu aja, tapi justru itu daya tariknya menurut saya.


5 hari, waktu yang diberikan pada kami untuk menyelesaikan tugas di sini. Syukurnya di hari terakhir kunjungan kami ke kampus, masih sempat untuk bisa menempuh perjalanan ke Bukit Tinggi.

Hampir 2 jam perjalanan darat berhasil membius kami semua, yeeah, tepar, dan ngiler. Hahaha. Tapi begitu sampai di kota Padang Panjang, cuman ada kalimat waaah, waaaaahhh, whoaaaaahhhh yg terlontar. Sepanjang jalan, sawah hijau terbentang luas! Aaah, istimewa!

Jam 18:00 tibalah kami di Bukit Tinggi! Yeeeaah! Tujuan utama kesini, tentunya selfie bersama Jam Gadang. Ada yang tau keanehan apa yang ada di Jam Gadang?


Hari terakhir di kota Padang, kami sempatkan buat berkunjung ke Museum Adityawarman. Ini adalah museum milik Provinsi Sumatera Barat yang dikelola oleh pemerintah Kota Padang. Akhirnya bisa melihat bangunan atap minangkabau dari jarak dekat.


Ini view tampak depan museum dari sisi kiri, tengah, kanan. Klik aja fotonya kalau pengen liat full size.
Halaman museum ini luaaaass banget! Dan sering dijadikan tempat untuk acara-acara pagelaran seni di Padang. Ini foto bagian depan sisi kiri dan kanan.

Bagian dalam museum ini berisi benda-benda khas Minang. Mulai dari kain, dekorasi pernikahan, baju adat, alat songket. Cerita lengkapnya, baca post saya yang lain disini.

Lokasi Museum Adityawarman nggak jauh dari tempat kami menginap.


Masih ada beberapa tempat yg belum ter-checklist :
  1. Masjid Raya Sumatera Barat
  2. Pasar Raya Padang
  3. Pantai Batu Malin Kundang
InshaAllah, semoga esok masih diberi kesempatan lagi untuk singgah di kota ini. Tugas masih belum selesai, sekarang waktunya kembali berkutat dengan berburu bugs. Ganbate!

[ UPDATED ]

Di kunjungan selanjutnya, rasa penasaran saya berakhir, karna bisa menyambangi masjid yang paling gagah di Padang, yaitu Masjid Raya Sumatera Barat.


As you can see, we smiiiilee. Yes of course, because we are so happy! Happy, karena agenda untuk pelatihan alhamdulillah tidak ada kendala yang berarti, koneksi di kampus lancar jaya. Selain itu karena hari itu bertepatan sama ulang tahun si bumil, dan kami berhasil ngasih surprise buat dia (dan berhasil juga coret-coret cermin hotel pakai lipstick merah). Terimakasih Tuhan untuk berkah ini :)

review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas

Museum Adityawarman adalah museum milik Provinsi Sumatera Barat dan dikelola langsung oleh pemerintah Kota Padang.

review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas
Klik untuk memperbesar foto.
Adityawarman merupakan pelanjut dari Dinasti Mauli penguasa pada Kerajaan Melayu yang sebelumnya beribu kota di Dharmasraya, dan dari manuskrip pengukuhannya ia menjadi penguasa di Malayapura Swarnnabhumi atau Kanakamedini pada tahun 1347 dengan gelar Maharajadiraja Srīmat Srī Udayādityawarma Pratāpaparākrama Rājendra Maulimāli Warmadewa, dan di kemudian hari ibu kota dari kerajaan ini pindah ke daerah pedalaman Minangkabau.

Nama museum ini memang diambil dari nama raja besar yang pernah berkuasa di dataran Sumatera. Sebelumnya saya mengira museum ini adalah museum milik pribadi, yaa mas mas bernama Aditya itu tadi, ealaaah ternyata bukan.

review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas
review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas
review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas

Waktu Kunjungan
Harga Karcis Masuk
Senin-Jum’at : 08.00 Wib s/d 16.00 WIB
Sabtu-Minggu : 08.30 Wib s/d 16.00
Senin : Tutup
*Hari besar dan libur nasional tetap buka
Anak-anak : Rp. 1.050,-
Dewasa : Rp. 2.050,-
Rombongan : Minimal 50 orang Discount 50 %
Begitu masuk ke dalam museum, kita disambut oleh dekorasi pernikahan adat Minang. Lengkap dengan pengantin dan kamar pengantinnya.

review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas
review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas
review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas

Kalau bicara soal pakaian adat tradisional minang untuk pernikahan, khusus untuk perempuan, ada aksesoris di kepala yang cantik banget, disebut Suntiang.

Suntiang, sebagai kekhasan pengantin Minangkabau Pesisir yang berasal dari daerah Padang Pariaman. Kembang-kembang suntiang ini umumnya bertingkat dengan ganjil dimulai dari tujuh tingkat hingga sebelas tingkat. Ada juga suntiang bertingkat mulai dari tiga hingga lima yang biasanya digunakan untuk pendamping pengantin atau dikenal juga dengan sebutan Pasumandan. Namun karena alasan kepraktisan dan menyesuaikan dengan bentuk wajah, kini tingkatan pada Suntiang dipertahankan ganjil namun jumlah tingkatannya disesuaikan dengan kemampuan dan kemauan si pengantin. - Dikutip dari : sutanmudo.web.id


review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas
review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas

Di dalam museum ini banyak dipajang kain tradisional yang berasal dari 34 provinsi yang ada di Indonesia.

review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas

Kain tradisional dari Sabang sampai Merauke, semua ada di museum ini. Sayangnya nggak semua bisa saya abadikan. Kain tradisional ini dipajang di papan kaca setinggi kurang lebih 2,5 meter, nah salah satu yang membuat agak tidak nyaman adalah dikarenakan papan pajangan kain ini cukup tinggi, jadi menutupi cahaya yang masuk dari jendela dan membuat ruangan museum jadi terkesan gelap. Alhasil jadi sulit mengambil foto jika menggunakan ponsel.

review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas
Kain Koffo yang berasal dari Sulawesi Utara. Terbuat dari bahan serat manilla atau serat pisang hutan.
review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas
Papua
museum adityawarman
Maluku
museum adityawarman
Sulawesi Tenggara
review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas
Alat tenun untuk membuat kain songket.
review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas-aksara-minangkabau
Aksara Minangkabau. Sekilas mirip huruf Arab yaa?
Di akhir kunjungan kami ke museum ini, tanpa sengaja kami disapa oleh Kepala Museum Adityawarman, Ibu Noviyanti yang kebetulan sedang sidak berkeliling museum. Kami diminta untuk mengisi kuesioner yang berisi beberapa pertanyaan evaluasi untuk museum ini.

Aaah, senangnya, bersyukur karna diberi kesempatan untuk bisa singgah di Kota Padang dan menikmati keindahan alam & arsitektur bangunan khas minang yang atapnya istimewa itu, hihi. Semoga esok masih bisa jumpa lagi.

4 Agustus 2015

Perjalanan darat dari Jogja - Semarang - Rembang, begitu istimewa. Saya, lengkap dengan keluarga kecil saya, bisa mampir untuk melihat langsung keindahan perpaduan kultur yang terangkai di sebuah desain bangunan berbentuk masjid.

Masjid Menara Kudus


Awalnya saya search dengan keyword "Masjid Kudus" di google maps. Terkecoh karena ternyata ada juga Masjid Kudus yang letaknya di area alun-alun kota. Memang bener sih, nggak jauh dari alun-alun kota, tapi tempatnya agak masuk gang. Posisinya ada di dalam pemukiman warga.


Arsitektur masjid ini masih sangat kental dengan bangunan pura yang ada di Bali. Masih menggunakan batu bata merah yang disusun tinggi.

Sewaktu saya berkunjung kesana, ada banyak sekali masyarakat yang berdatangan ke Masjid Menara Kudus untuk memberikan doa di dekat makam Sunan Kudus.

Sayangnya, nggak banyak yang bisa saya dokumentasikan di sini. Hanya bisa share di pelataran masjidnya aja. Biarlah tersimpan di memory pikiran saya saja yah.

Masjid Agung Demak

menara yang berada di bagian depan sisi kanan masjid
Begitu pertama kali melihat bangunan masjid ini, satu kata yang terlintas di pikiran saya, Sederhana. Mungkin karena pengaruh material kayu yang mendominasi bangunan Masjid Agung Demak ini. Nuansa Jawa masih terasa sangat kental.

Memasuki pelataran masjid, di sisi sebelah kanan dari pintu masuk, terdapat bangunan bertuliskan Museum Masjid Agung Demak. Penasaran dengan isi dari museum, segera langkah kaki kami menuju kesana.


Untuk menikmati isi museum ini pengunjung tidak dipungut biaya sama sekali. Hanya saja ada pesan terpajang di dinding : "Mintalah ijin kepada petugas penjaga jika ingin mengambil foto".

soko guru yang pada jaman dahulu digunakan untuk menopang masjid

Dari sekian banyak benda-benda peninggalan jaman dahulu yang masih disimpan, 2 benda di atas yang menurut saya paling berkesan.
  1. Soko Guru yang dulu digunakan sebagai penopang bangunan masjid.
  2. Bedug Wali yang digunakan pada abad XV.
Pada masa pembangunan Masjid Agung Demak ini, sepertinya masih sangat dipengaruhi oleh kerajaan Majapahit. Saya sempat melihat ada lambang kerjaan Majapahit yang terukir di pintu masuk masjid. Pintu aslinya sih masih tersimpan dengan baik, sayangnya nggak saya jepret :(

Kesimpulan

Perjalanan kali ini menyenangkan sekaligus melelahkan! Menyenangkan karena setelah sekian lama nggak sempat buat jalan-jalan bareng keluarga, akhirnya di momen lebaran ini kami bisa jadi jalan bareng, meskipun keributan masih saja jadi teman perjalanan kami (semacam sayur tanpa garam gituh). Melelahkan karena saya tandem sama bapak buat jadi sopir (banyak di sayanya sih). Hehehe.

Gimana perjalanan mudikmu di lebaran tahun ini? Share yaa ;)

Instagram

Diary Baik Hari Ini. Theme by STS.