6 Desember 2015

Aloha! Alhamdulillah, lagi-lagi diberi kesempatan untuk pergi ke tanah Sumatera. Kali ini saya menjelajah sebagian Kota Jambi dan mendapati bahwa perjalanan ini banyak kejadian yang sulit untuk terlupa.

Kalau di Jogja ada Dagadu, di Bali ada Joger, di Jambi ada Jakoz (Jambi Punya Kaos).

Kota Jambi, kota yang dikenal dengan 3 musim yang ada disepanjang tahun, yaitu : musim hujan, musim kemarau, dan musim asap.

*ini yang bilang orang Jambi sendiri yaa* :)))

Begitu keluar dari pesawat, bau asap yang terasa pekat bisa langsung tercium. Menurut saya sih, yang kemarin ini udah cukup tebal asapnya, tapi kata bapak baik hati dari kampusnya bilang kalau kondisi seperti ini bukan apa-apa, malahan agak mendingan. *cuma bisa mlongo*

Kurang lebih selama 4 hari kami berpetualang di Jambi, selain tentunya bergelut dengan presentasi, diskusi, dan bertukar pikiran dengan klien, kami diajak berkunjung ke tempat-tempat eksotis Jambi di malam harinya.

MASJID AGUNG AL FALAH

Adalah masjid yang mendapat julukan Masjid 1000 Tiang. Masjid yang terletak di pusat kota Jambi ini ternyata dulunya adalah lokasi pusat kerajaan Melayu Jambi.

Masjid ini dibangun dengan model area terbuka, tidak ada pintu yang membatasi, hanya pagar setinggi kurang lebih 1 meter saja yang mengelingi. Sehingga saat pertama kali sampai, langsung terasa sekali area lapang di masjid ini.


Dan ternyataaa, bangunan masjid ini sudah diresmikan sejak jaman periode pemerintahan Bapak Soeharto! Tepatnya pada tanggal 29 September 1980, whooaa udah lama juga ternyata.

Sayangnya saya hanya bisa mengabadikan kemegahan arsitektur masjid ini dari tampak dalam. Aslinya, kalau dilihat dari luar, lampu-lampu terang berwarna putih yang menghiasi bangunan masjid ini membuat masjid ini makin waaaah dari luar.

Jarak tempuh dari hotel kami menginap ke Masjid Agung Al Falah ini sekitar 20 menit.


HARU BIRU DIMULAI

Selain asapnya yang pekat dan tak terlupakan itu, bagian lain dari perjalanan di Jambi ini adalah untuk pertama kalinya kami merasakan bagaimana deg-degannya menunggu delay 7 jam lamanya. Tanpa kepastian. Leher punggung pegal-pegal akibat keseringan duduk (angkat pantat hilang tempat soalnya). Kelaparan, menunggu kepastian, ngenes gitu lah rasanya. 

Tapi kami tetep bisa happy karena ketemu dengan orang-orang baik :
  1. Mas mas jaksa yang tampak sudah sangat lihai menghadapi situasi carut marut ketidakpastian yang selama ini dilakukan oleh maskapai di bandara Sultan Thaha dan memberikan tips perjalanan pulang untuk kami (pulang naik bus aja mbak, terus naik kapal, nyebrang ke pulau Jawa *kemudian lemes kami dengernya*).
  2. Bapak bapak yang sedang kuliah S3 yang dengan baik hati memberikan kami oleh-oleh Teh Kerinci kualitas 1 yang hanya diperuntukkan untuk export dan nggak dijual di tempat umum (konon sih infonya harganya mihil gitu).
  3. Ibu ibu yang pergi rombongan bersama suami, anak, dan cucunya yang menggemaskan, yang sudah baik hati ngasih kami kue Hatari.
  4. Ibu ibu penjual Pop Mie yang mengingat muka kami dan dengan baik hati nyari-nyari kami cuman buat memberikan 2 porsi terakhir air panas untuk dibuatkan Pop Mie, hanya buat kami :")
Kondisi di ruang tunggu bandara Sultan Thaha Jambi yang penuh sesak dipenuhi korban delay dikarenakan asap pekat yang masih menyelimuti kota Jambi kala itu.

Aah, rasanya, beneran merugi kalau seandainya saat itu kami acuh tak acuh aja dan cuman mengeluh sana sini.

Lalu, untuk pertama kalinya lagi, kami merasakan euforia bagaimana rasa bahagia, lega akhirnya pesawat kami diberangkatkan pada hari itu juga. Penantian panjang kami nggak sia-sia. Pukul 21:30, akhirnya pesawat kami berangkat menuju Jakarta.

Bye bye Jambi!
23:00 Selamat datang di Bandara Soekarno Hatta. Mata sayu, lelah, lunglai, dan bete. Bete karena pada akhirnya kami harus menunggu lagi kepastian akan menginap dan istirahat dimana.


Dikarenakan flight kami ke Jogja yg paling pagi adalah jam 05:00 P.A.G.I *rasanya mau pingsan denger ini* dan dikarenakan pihak maskapai (katanya) nggak dapet hotel buat menginapkan kami, jadilah ruang informasi bandara kami kudeta buat tidur dan istirahat. 

Ada yang melihat sesosok wanita terbujur kaku & pegel disudut kolong meja itu?
Edyan. Awak remuk nek ngene iki carane :))))) 

Rasanya malam itu, bandara CGK berasa kayak kutub! AC central dimana-mana! Damn. Saya menyesal harus menyepelekan alat perang saya untuk saya tinggal di rumah (baca : kaos kaki tebel + jaket tebal + minyak angin), kapok sudah.

Lalala, begitulah Jambi dan suka dukanya, di setiap perjalanan dinas memang akan selalu ada aja kejadian yang bikin cengengas cengenges dewe. Nganyelke ati, tapi ya geli sendiri kalo inget kejadian itu kami lalui. Daaan ini dia partner in crime saya di Jambi kala itu :

Kawan seperjuangan saya (Linda & Arif) .
Kalau di Part 1 ini banyak kejadian mengharu biru, di Part 2 ini saya berubah jadi anak gahol Jambi, gimana keseruannya jadi anak gahol Jambi? Tunggu postingan selanjutnya yaaa, bye bye!

22 Oktober 2015

hmjti-stmik-akakom

Hampir selama 4 tahun sudah baju itu menemani proses saya dari remaja yang idealis dan self-minded menjadi seseorang yang mungkin anda kenal sekarang ini. Dari awal pertemuan 'kami', hal yang begitu saya yakini adalah, lewat baju itu saya yakin kehidupan perkuliahan saya nggak akan sia-sia. Konflik, pressure, target, dan keseimbangan. Semua itu saya rasakan begitu bergejolak di awal-awal perkuliahan. Dan saya menerimanya sebagai tanggung jawab.

Pulang larut malam, rapat sampai jam 9 bahkan jam 10 malam. Hari libur masih berkutat dengan Draft Acara, Teknis Acara, hingga yang paling populer, Teknis Lapangan, di saat teman yang lain sudah mudik liburan.

Bangga sekali rasanya kala itu, duduk di barisan paling depan, berhadapan dengan konflik kecil dan besar, menjadi penentu kebijakan dan keputusan, memainkan peran dengan sedikit ala politik. Dan berujung pada disuguhi cemilan gorengan tempe, tahu, pisang dan molen yang hangatnya masih terasa hingga sekarang.

Titik balik yang paling saya rasakan adalah ketika diberi kepercayan untuk menjadi Wakil Ketua kala itu. Belajar bagaimana untuk bisa menerima kritik sepedas apapun, belajar untuk bisa menyampaikan pendapat dengan tetap santun karna tuntutan posisi kala itu, belajar untuk bisa "mengendalikan" dan "memaksa" orang lain agar sesuai dengan pola yang sudah saya buat, belajar untuk bisa lebih mendengarkan daripada berbicara, belajar untuk bisa menerima bahwa kesalahan tim adalah kesalahan saya, semua itu berujung pada titik "mengendalikan ego".

Tapi sekarang, berada pada tahap ini, menengok kembali masa silam, yang dulu terasanya begitu berat, sekarang saya tersenyum dan bersyukur. Belum, ini masih belum apa-apa, namun tanpa proses itu, sepertinya saya tak bisa menghadapi segala hal yang terjadi sebaik seperti ini.

Terimakasih atas proses itu, terimakasih sudah pernah hadir dalam hidup saya,
Terimakasih,
HMJ TI STMIK AKAKOM Yogyakarta

24 September 2015


Menemukan beberapa hal dalam hidup yang membuat kita kecewa memang sesak rasanya.
Tapi, hal itu harus dihadapi bagaimanapun caranya.

Bagaimanapun caranya harus dihadapi dengan cara yang baik.
Dengan sadar sepenuhnya.

Jika ada rasa kesal dan perlu diungkapkan, luapkanlah. Luapkan bersama orang-orang yang bisa kamu percaya. Karena orang-orang itulah yang mengerti bagaimana kamu sebenarnya. Bahwa sikap yang (mungkin) akan terlihat buruk, bukan berarti membuatmu tampak buruk, karena mereka mengerti. Bukan karena mereka melihat.



Picture by Dream Wallpaper | Edited by ARK

8 September 2015


arktoldyou-my-way

25 Agustus 2015


Jakarta,

Tempat di mana saya harus hampir menahan sesak di dada.
Tempat di mana saya merasa benar-benar ditempa.
Tempat yang membuat saya harus mengucapkan kata terima kasih.

Karena tanpa Jakarta kala itu, mungkin kesempatan yang lain, yang sekarang saya dapatkan, tak akan bisa saya lewati dengan senyuman seperti sekarang.

- Sedang sangat bersyukur, Yogyakarta.

20 Agustus 2015


Bicara soal cita-cita. Saya iri melihat banyak orang diluar sana yang sudah tau sedari awal ingin jadi apa mereka nanti. Rasanya mereka tak ada waktu untuk berpikir takut ini dan itu. Mulai dari karir, hobi, kesukaan, ambisi yang mereka kejar, menuntun mereka menjadi seseorang yang mereka inginkan. Saya? Hmm. Sepertinya masih berjalan tertatih. Masih mencari jalan untuk menemukan dan hingga akhirnya nanti bisa menentukan.

Pagi ini, saat jari jemari tangan berlari kecil di feed Instagram, saya menemukan sebuah foto dengan kalimat yang serupa seperti di atas. Seketika, pikiran ini mulai menuntun saya untuk : Ya, saya ingin menjadi orang yang seperti itu. Apapun pekerjaan saya, bagaimanapun lingkungan sekitar saya, saya ingin menjadi orang seperti itu. Pikiran itu, menuntun saya untuk : Lakukan yang terbaik dan terus lakukan yang terbaik. Karena hasil akhir itu hanyalah dampak dari sebuah proses kan? 

  Berproseslah,  
  dengan sebaik yang kamu inginkan.  

18 Agustus 2015

Rencana saya buat happy-happy bareng anak-anak akhirnya berhasil terwujud juga. Kalo biasanya kami sukanya bahas doang nggak ada implementasi (soal jalan-jalan), kali ini beneran kejadian! Yeaargh!

rumah kamera camera house borobudur

Mencari lokasi Rumah Kamera nggak terlalu sulit. Tinggal jalan ke arah Hotel Manohara, begitu sampai di sana, tinggal luruuuus aja ngikutin jalan. Kurang lebih sekitar 2 kilometer dari Hotel Manohara, di sebelah kiri sudah langsung bisa kita temukan bangunan rumah berbentuk kamera DSLR, yap, itulah Rumah Kamera!


Kalau kalian perhatikan nanti di petunjuk jalan menuju Rumah Kamera, keterangannya adalah "Tinggal 1 menit menuju Rumah Kamera", waktu baca petunjuknya, kami cuman geleng-geleng kepala sambil cengengesan, gimanaa itu maksudnya 1 menit, kalo jalan kaki apa iyaa bener 1 menit .

rumah kamera camera house borobudur

Di perjalanan menuju Rumah Kamera, ada pohon gede banget yang cantik buat foto-foto. Bunga pohonnya warnanya merah orange. Bentuknya cukup gendut, hampir sekepalan tangan wanita. Entah nama pohonnya apa. Letak pohon cantik itu berdekatan sama lapangan sepak bola yang punya view bukit yang cantik juga.

rumah kamera camera house borobudur

Liat view yang cantik banget kayak gitu, mana bisa kami tahan buat nggak ngeluarin DSLR punya Momon. Haha. Kali ini beneran deh kami niat buat jalan-jalan, sampe dibela-belain ngingetin Momon buat nge-charge battery kameranya *fungsi teman ya begitu*. Agree?

rumah kamera camera house borobudur
rumah kamera camera house borobudur

Kalau sudah sampai lapangan sepak bola tadi, tandanya posisi Rumah Kamera sudah nggak jauh lagi. Yeay! 

rumah kamera camera house borobudur
Rumah Kamera tampak depan. Ternyata tempat ini adalah galeri seni milik Bapak Tanggol Angien Jatikusumo
Untuk bisa masuk ke dalam rumah ini, kami harus beli tiket masuk senilai 5000 rupiah *kalo nggak salah ingat*. Rumah ini terdiri dari beberapa lantai. Yang paling menarik menurut saya ada di lantai dasar dan lantai paling atas.

Di lantai dasar, kami disuguhkan beberapa lukisan karya Pak Tanggol. Di lantai paling atas, kita bisa melihat pemandangan bukit dan langit yang membentang biru.

rumah kamera camera house borobudur
rumah kamera camera house borobudur

Oiya, yang unik dari Rumah Kamera ini adalah, beberapa bagian lantai dan dinding-dindingnya hanya menggunakan bahan semen yang kemudian dicap bermacam-macam bentuk wayang. Nyeni banget!

rumah kamera camera house borobudur
rumah kamera camera house borobudur
rumah kamera camera house borobudur

Nah, foto-foto syantik sudah, ketawa-ketiwi syudah, menggila juga sudah, alhasil kami kehausan dan kelaparan. Untungnya di bagian luar dekat loket tiket, sudah disediakan kafe kecil buat pengunjung. Harga minuman dan french fries-nya sih standar. Cukup untuk sekedar pelepas dahaga.

rumah kamera camera house borobudur

Kesimpulannya, kami happy banget akhirnya bisa keturutan buat foto-foto di Rumah Kamera ini. Tadinya sih, awalnya kami kira ini cuman sekedar rumah yang nggak dipake gitu. Bahahahaha. Ternyata kenyataannya jauh dari ekspetasi. Ternyata rumah ini memang dibangun untuk galeri seni.

Semoga di pelancongan kami selanjutnya bisa kesampean ke Gereja Ayam. Aaaah, nggak sabar buat long weekend lagi dan halan-halan!





Beberapa foto di atas,
captured by Monica Agustami



17 Agustus 2015

Alhamdulillah, perjalanan dinas kali ini diberi kesempatan (lagi) untuk menginjak tanah Sumatera. Tepatnya, Padang, Sumatera Barat.


Dimulailah perjalanan kami dari Jogja dengan hati riang gembira tralalala. Ini PD luar Jawa pertama buat rekan saya, dan PD pertama juga ke Padang, buat saya.

Menginjakkan kaki di kota Padang, mata saya langsung berbinar saat melihat atap rumah minangkabau. Gagah, garang, dan istimewa.

Hari pertama selesai bertugas, kami diajak berkeliling kota Padang, mencicipi es durian yang legit di Iko Nantinya, melewati pesisir laut, dan tentunya, nyebrang diatas Jembatan Siti Nurbaya.

Untuk beberapa orang, ada kejadian menggelikan di sini, jadi rasanya tempat ini perlu saya abadikan :))))
Es durian Iko Gantinyo

Sudah jauh-jauh sampai Padang, rasanya rugi kalau nggak sekalian mampir ke kampus kebanggaan masyarakat Padang, Universitas Andalas. Bangunan kampus ini ruar biasa banget! Arsitekturnya gagah, mungkin karena luasnya kawasan kampus dan kebetulan berada di atas dataran tinggi. Gedung di Universitas Andalas hampir semua sengaja nggak dicat berwarna. Bagian luarnya cuman disemen gitu aja, tapi justru itu daya tariknya menurut saya.


5 hari, waktu yang diberikan pada kami untuk menyelesaikan tugas di sini. Syukurnya di hari terakhir kunjungan kami ke kampus, masih sempat untuk bisa menempuh perjalanan ke Bukit Tinggi.

Hampir 2 jam perjalanan darat berhasil membius kami semua, yeeah, tepar, dan ngiler. Hahaha. Tapi begitu sampai di kota Padang Panjang, cuman ada kalimat waaah, waaaaahhh, whoaaaaahhhh yg terlontar. Sepanjang jalan, sawah hijau terbentang luas! Aaah, istimewa!

Jam 18:00 tibalah kami di Bukit Tinggi! Yeeeaah! Tujuan utama kesini, tentunya selfie bersama Jam Gadang. Ada yang tau keanehan apa yang ada di Jam Gadang?


Hari terakhir di kota Padang, kami sempatkan buat berkunjung ke Museum Adityawarman. Ini adalah museum milik Provinsi Sumatera Barat yang dikelola oleh pemerintah Kota Padang. Akhirnya bisa melihat bangunan atap minangkabau dari jarak dekat.


Ini view tampak depan museum dari sisi kiri, tengah, kanan. Klik aja fotonya kalau pengen liat full size.
Halaman museum ini luaaaass banget! Dan sering dijadikan tempat untuk acara-acara pagelaran seni di Padang. Ini foto bagian depan sisi kiri dan kanan.

Bagian dalam museum ini berisi benda-benda khas Minang. Mulai dari kain, dekorasi pernikahan, baju adat, alat songket. Cerita lengkapnya, baca post saya yang lain disini.

Lokasi Museum Adityawarman nggak jauh dari tempat kami menginap.


Masih ada beberapa tempat yg belum ter-checklist :
  1. Masjid Raya Sumatera Barat
  2. Pasar Raya Padang
  3. Pantai Batu Malin Kundang
InshaAllah, semoga esok masih diberi kesempatan lagi untuk singgah di kota ini. Tugas masih belum selesai, sekarang waktunya kembali berkutat dengan berburu bugs. Ganbate!

[ UPDATED ]

Di kunjungan selanjutnya, rasa penasaran saya berakhir, karna bisa menyambangi masjid yang paling gagah di Padang, yaitu Masjid Raya Sumatera Barat.


As you can see, we smiiiilee. Yes of course, because we are so happy! Happy, karena agenda untuk pelatihan alhamdulillah tidak ada kendala yang berarti, koneksi di kampus lancar jaya. Selain itu karena hari itu bertepatan sama ulang tahun si bumil, dan kami berhasil ngasih surprise buat dia (dan berhasil juga coret-coret cermin hotel pakai lipstick merah). Terimakasih Tuhan untuk berkah ini :)

review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas

Museum Adityawarman adalah museum milik Provinsi Sumatera Barat dan dikelola langsung oleh pemerintah Kota Padang.

review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas
Klik untuk memperbesar foto.
Adityawarman merupakan pelanjut dari Dinasti Mauli penguasa pada Kerajaan Melayu yang sebelumnya beribu kota di Dharmasraya, dan dari manuskrip pengukuhannya ia menjadi penguasa di Malayapura Swarnnabhumi atau Kanakamedini pada tahun 1347 dengan gelar Maharajadiraja Srīmat Srī Udayādityawarma Pratāpaparākrama Rājendra Maulimāli Warmadewa, dan di kemudian hari ibu kota dari kerajaan ini pindah ke daerah pedalaman Minangkabau.

Nama museum ini memang diambil dari nama raja besar yang pernah berkuasa di dataran Sumatera. Sebelumnya saya mengira museum ini adalah museum milik pribadi, yaa mas mas bernama Aditya itu tadi, ealaaah ternyata bukan.

review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas
review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas
review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas

Waktu Kunjungan
Harga Karcis Masuk
Senin-Jum’at : 08.00 Wib s/d 16.00 WIB
Sabtu-Minggu : 08.30 Wib s/d 16.00
Senin : Tutup
*Hari besar dan libur nasional tetap buka
Anak-anak : Rp. 1.050,-
Dewasa : Rp. 2.050,-
Rombongan : Minimal 50 orang Discount 50 %
Begitu masuk ke dalam museum, kita disambut oleh dekorasi pernikahan adat Minang. Lengkap dengan pengantin dan kamar pengantinnya.

review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas
review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas
review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas

Kalau bicara soal pakaian adat tradisional minang untuk pernikahan, khusus untuk perempuan, ada aksesoris di kepala yang cantik banget, disebut Suntiang.

Suntiang, sebagai kekhasan pengantin Minangkabau Pesisir yang berasal dari daerah Padang Pariaman. Kembang-kembang suntiang ini umumnya bertingkat dengan ganjil dimulai dari tujuh tingkat hingga sebelas tingkat. Ada juga suntiang bertingkat mulai dari tiga hingga lima yang biasanya digunakan untuk pendamping pengantin atau dikenal juga dengan sebutan Pasumandan. Namun karena alasan kepraktisan dan menyesuaikan dengan bentuk wajah, kini tingkatan pada Suntiang dipertahankan ganjil namun jumlah tingkatannya disesuaikan dengan kemampuan dan kemauan si pengantin. - Dikutip dari : sutanmudo.web.id


review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas
review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas

Di dalam museum ini banyak dipajang kain tradisional yang berasal dari 34 provinsi yang ada di Indonesia.

review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas

Kain tradisional dari Sabang sampai Merauke, semua ada di museum ini. Sayangnya nggak semua bisa saya abadikan. Kain tradisional ini dipajang di papan kaca setinggi kurang lebih 2,5 meter, nah salah satu yang membuat agak tidak nyaman adalah dikarenakan papan pajangan kain ini cukup tinggi, jadi menutupi cahaya yang masuk dari jendela dan membuat ruangan museum jadi terkesan gelap. Alhasil jadi sulit mengambil foto jika menggunakan ponsel.

review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas
Kain Koffo yang berasal dari Sulawesi Utara. Terbuat dari bahan serat manilla atau serat pisang hutan.
review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas
Papua
museum adityawarman
Maluku
museum adityawarman
Sulawesi Tenggara
review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas
Alat tenun untuk membuat kain songket.
review-wisata-museum-aditya-warman-sumatera-barat-sumbar-indonesia-padang-ajengmas-aksara-minangkabau
Aksara Minangkabau. Sekilas mirip huruf Arab yaa?
Di akhir kunjungan kami ke museum ini, tanpa sengaja kami disapa oleh Kepala Museum Adityawarman, Ibu Noviyanti yang kebetulan sedang sidak berkeliling museum. Kami diminta untuk mengisi kuesioner yang berisi beberapa pertanyaan evaluasi untuk museum ini.

Aaah, senangnya, bersyukur karna diberi kesempatan untuk bisa singgah di Kota Padang dan menikmati keindahan alam & arsitektur bangunan khas minang yang atapnya istimewa itu, hihi. Semoga esok masih bisa jumpa lagi.

Instagram

Diary Baik Hari Ini. Theme by STS.